Kisah heroik H. Mufti bin H.Abd.Rasul, pahlawan pejuang anggota Laskar Hizbullah dari Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah, yang
bertempur melawan tentara NICA Belanda pada waktu Agresi Militer I, Juli 1947
Laskar Hizbullah siap tempur
Boleh jadi di antara mereka adalah H.Mufti
Laskar Hizbullah sedang berparade
Meskipun persenjataan sederhana namun tak melunturkan semangat juang
Salah satu perjuangan fisik dalam menghadapi tentara sekutu setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945,
adalah perjuangan yang dilakukan oleh sekelompok pejuang Islam, yakni Laskar Hizbullah. Anggota Hizbullah memiliki semangat
kebangsaan dan spirit Islam yang tinggi.
Dalam hal ini perlu menjadi ingatan kolektif bahwa peran Laskar Hizbullah cukup besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Laskar Hizbullah dibentuk sebagai laskar kesatuan perjuangan semi militer dari kelompok Islam yang dilandasi dengan niat jihad
fi sabilillah, berjuang menegakkan agama dan Negara.
Laskar Hizbullah berperan aktif dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Kedahsyatan pertempuran tersebut tidak terlepaskan
dari Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945. Surabaya menjadi melting pot Laskar Hizbullah dari berbagai daerah, pertempuran yang
terjadi cukup menghentakkan pihak sekutu. Apa yang terjadi di Surabaya pada Oktober-November 1945 menjadi kisah nyata, kontribusi
besar Laskar Hizbullah yang bergerak secara gigih, dengan kekuatan lahir batin serta mental baja untuk mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.
Pada bulan Desember 1944 hingga Januari 1945, dibentuk Pusat Pimpinan Barisan Hizbullah untuk mempersiapkan perekrutan dan
pembukaan pusat pelatihan. Dewan ini diketuai oleh K.H. Zainul Arifin Pohan dengan wakil Mohamad Roem, sedangkan urusan pelatihan
dikomandani oleh K.H. Mas Mansyur dengan wakil Prawoto Mangkusasmito di bawah pengawasan Motoshige Yanagawa dari Beppan (gugus
tugas khusus dari Angkatan Darat ke-16).
Pelatihan anggota dimulai pada tanggal 28 Februari 1945 di pusat pelatihan yang terletak di Cibarusa, Bogor (kini bagian dari
Kabupaten Bekasi). Peserta pelatihan yang pertama berjumlah 500 orang, yang berasal dari berbagai pesantren di Pulau Jawa
dan Madura.
Lulusan dari pelatihan ini kemudian dikembalikan ke daerah asal masing-masing untuk membentuk satuan Hizbullah beranggotakan
pemuda setempat. Selama setahun pertama berdirinya, diperkirakan jumlah anggota Hizbullah secara keseluruhan mencapai sekitar
25.000 personel.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, PETA sebagai pasukan yang didirikan oleh pemerintahan militer Jepang dibubarkan. Hizbullah,
yang berada di bawah arahan Partai Masyumi, tidak terpengaruh oleh hal itu, sehingga aktivitasnya tetap berlanjut memasuki
era pemerintahan Indonesia yang merdeka. Hizbullah kemudian turut berjuang di berbagai pertempuran bersama Badan Keamanan
Rakyat (kemudian formasi lainnya) serta laskar-laskar atau badan perjuangan rakyat lain selama Revolusi Nasional Indonesia.
Pada masa awal revolusi, berbagai satuan Hizbullah di berbagai daerah turut melucuti persenjataan tentara Jepang untuk mempersenjatai
diri. Tak jarang hal ini menimbulkan bentrok dengan tentara Jepang. Beberapa pertempuran besar yang turut dihadiri oleh personel
dari Hizbullah di antaranya adalah Bandung Lautan Api, Pertempuran Lima Hari, Pertempuran Ambarawa, dan Pertempuran Surabaya.
Aktivitas Hizbullah sebagai pasukan independen selesai ketika pada tanggal 3 Juni 1947, Presiden Sukarno mengumumkan pembentukan
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pembentukan TNI dilakukan dengan menggabungkan kekuatan militer formal Tentara Republik
Indonesia (TRI) dengan laskar-laskar rakyat, termasuk Hizbullah.
Inilah sekelumit kisah dari alm. H. Mufti H.Abd.Rasul dalam ikut aktif mempertahankan kemerdekaan NKRI di masa-masa agresi
militer NICA Belanda, pada tahun 1946-1949, khususnya di sekitar wilayah Brebes dan Tegal, Jawa Tengah.
Muhammad Mukmin bin K.H. Abdul Rasul, komandan Laskar Hizbullah Jatibarang Brebes, Jawa Tengah, yang gugur diserang Belanda
ketika sedang solat Subuh di pagi buta di sebuah Musholla kecil di Desa Jatirokeh, Jatibarang, Brebes, pada saat agresi militer
Belanda yang pertama, terjadi pada 12 juli 1947 (Kraai Operatie), adalah salah seorang pejuang yang saat ini mungkin namanya
sudah terlupakan oleh generasi saat ini.
Generasi zaman "now" yang sudah terbiasa makan hidangan cepat saji di restoran-restoran waralaba internasional, minum minuman
ringan bersoda dan berkadar gula tinggi, menghabiskan waktunya di mall dengan berleha-leha, tangannya tidak pernah lepas dari
gawai dan selalu menulis keluhannya di media sosial, kongkow-kongkow dengan teman-temannya hingga mall akan tutup, seringkali
lupa akan pengorbanan para pahlawan nasional yang telah mengorbankan harta dan nyawa mereka untuk mempertahankan kemerdekaan
dari serangan penjajah yang ingin kembali menguasai tanah air.
Bersama rekan seperjuangannya yang juga keponakan almarhum, Muhammad Asroh, keduanya diserang secara mendadak hingga akhirnya
gugur ketika sedang solat Subuh. Hal ini dikarenakan keduanya sudah lama menjadi incaran Belanda oleh karena sepak terjangnya
yang merepotkan pasukan penjajah itu ketika mereka sedang berpatroli di wilayah Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah.
Tentunya hembusan angin Proklamasi Kemerdekaan 17-08-1945 di Jakarta telah sampai terdengar hanya dalam hitungan hari hingga
ke wilayah Brebes, Jawa Tengah. Para pemuda di seluruh wilayah NKRI telah bersiap untuk mempertahankan kemerdekaan yang dibacakan
oleh Soekarno-M.Hatta di Jln. Proklamasi No. 56 itu dengan segala bentuk pengorbanan, bila perlu dengan berkorban nyawa.
Sebagaimana wilayah karesidenan Banyumas termasuk juga wilayah Brebes adalah mayoritas berpenduduk kaum Muslimin, maka pasukan
yang terbentuk adalah Laskar Hizbullah. Salah seorang komandan resimen Laskar Hizbullah di Jatibarang Brebes adalah H. Mufti
bin KH. Abd. Rasul.
Bersama saudara kandungnya, Muhammad Mukmin, dan keponakannya, Muhammad Asroh, beserta seluruh pemuda pejuang yang tergabung
dalam Laskar Hizbullah Jatibarang, H.Mufti memimpin serangan-serangan berbentuk "ambush" (serangan mendadak) yang merepotkan
tangsi militer Belanda (NICA) di Brebes.
Sebagaimana Bupati Brebes sendiri kala itu, H. Syatori, yang gugur ditembak NICA karena tidak mau bekerjasama dengan mereka
pada saat Agresi Militer ke1 pada bulan Juli 1947, maka Laskar Hizbullah juga tidak tinggal diam.
Mereka mengkonsolidasikan dirinya dengan mengumpulkan segala macam senjata yang ada, terutama sekali bambu runcing. Tujuan
utamanya adalah mengganggu jalannya konvoi pasukan Sekutu yang tergabung dalam RAPWI* dan AFNEI* yang akan memperkuat kedudukan
pasukan Sekutu yang bermarkas di Semarang dan D.I. Yogyakarta.
RAPWI : Repatriation of Allied Prisoners of War in Indonesia, AFNEI : Allied Forces in the Netherlands East Indies, NICA :
Netherlands Indies Civil Administration, dipimpin oleh H.J. Van Mook. Istilahnya pemerintahan sipil,tetapi tetap saja kekuatan
militer di bawah Jenderal Spoor dan Jenderal TerPorten yang memegang kendali lapangan.
Karena seringnya merepotkan pasukan Belanda inilah, maka H.Mufti, Muhammad Mukmin dan Muhammad Asroh menjadi target sasaran
mereka. Kesempatan itu didapat ketika pada suatu Subuh di tengah hutan Jatirokeh Belanda mendapatkan info dari mata-mata mereka,
bahwa Laskar Hizbullah Jatibarang Brebes sedang beristirahat di sebuah musholla sambil menunggu datangnya Adzan Subuh.
Kesempatan emas ini tentunya tidak disia-siakan begitu saja oleh Belanda. Mereka segera mengirimkan satu kompi pasukan penyergapnya
yang menyusup ke tengah hutan secara diam-diam.
Dari pengakuan Hj. RA. Unaesah, salah seorang putri dari H. Mufti bin KH. Abdul Rasul,pembantaian para pejuang yaitu Muhammad
Mukmin dan Muhammad Asroh terjadi dengan lemparan granat ke dalam musholla dan rentetan senapan mesin bertubi-tubi, kepada
para jamaah sholat Subuh yang berada di dalam Musholla. Banyak yang jatuh gugur sebagai pahlawan kusuma bangsa.
Alhamdulillah H. Mufti sendiri lolos dari maut dan menyelamatkan diri ke tengah hutan dan beberapa hari kemudian beliau kembali
memimpin laskar Hizbullah dengan menghimpun dan mengkonsolidasikan sisa-sisa kekuatan yang ada untuk kembali mengacaukan konvoi
Belanda di wilayah Jatibarang Brebes.
Setelah terjadinya pengakuan kedaulatan oleh Ratu Belanda di Den Haag melalui KMB pada 27- 12-1949, maka pasukan Belanda mulai
ditarik mundur dari semua wilayah RI, termasuk Jatibarang Brebes.
H. Mufti dan pasukan Laskar Hizbullahpun membubarkan diri dan kembali memulai pekerjaan lamanya sebagai guru ngaji Al-Quran
di Madrasah Jatibarang dan kembali menjadi petani yang menggarap sawah dan hewan ternak.
Sekitar pertengahan tahun 1950-an, H. Mufti hijrah bersama keluarganya ke Jakarta. Adapun wilayah yang pertama kali disinggahi
dan dijadikan tempat tinggal adalah Rawa Badak, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Beliau termasuk pula yang ikut mendirikan dan
memakmurkan Masjid Al Fudhola yang terletak di Jalan Dobo, Koja, Jakarta Utara.
(bersambung-to be continued)
Berjihad mengusir NICA Belanda
Laskar Hizbullah, peran dan andil mereka sangat besar.
KH. Abdullah Abdul Wahab
Salah seorang Ulama kharismatis yang membakar semangat pemuda untuk melawan NICA.
Jayalah negeriku NKRI tercinta, Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara.